Translate

Rabu, 09 September 2015

1 September, Hari yang Paling Ditakuti oleh Siswa Jepang



TOKYO - Nanae Munemasa mengalami bullying pertamanya saat ia duduk di bangku sekolah dasar. Gadis 17 tahun itu bercerita bahwa ia dipukuli oleh sekelompok anak laki-laki dengan tangkai sapu, dikunci di kamar mandi perempuan. Ia bahkan pernah diserang di kolam renang saat les renang.
"Aku siswa terakhir yang keluar dari kolam renang," kata Nanae kepada CNN. "Kepalaku disambit sikat besar dan aku nyaris tenggelam. Kepalaku benjol besar sesudahnya."
Nanae pun mulai tidak mau sekolah dan bahkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Sementara itu, seorang siswa laki-laki Jepang lainnya mengalami hal yang sama. Masa, bukan nama sebenarnya, juga berpikiran untuk bunuh diri.
"Seragam sekolahku sungguh berat," kata Masa yang pertama kali di-bully saat masuk sekolah menengah atas.
"Aku tidak bisa menghadapi lingkungan sekolah. Jantungku berdegup kencang. Aku pikir aku bunuh diri. Aku tidak bisa hadapi tekanan saat tahun ajaran baru dimulai tiap 1 September," kata Masa.
Nanae dan Masa tidak sendiri.
Banyak siswa di sekolah-sekolah Jepang melakukan bunuh diri tiap tanggal 1 September dibanding hari lainnya. Menurut kantor kabinet Jepang, 1 September adalah hari 'bersejarah' di mana jumlah anak di usia di bawah 18 tahun melakukan bunuh diri.
Menurut catatan, dari tahun 1972 hingga 2013, ada 18.048 kasus bunuh diri pada anak-anak usia sekolah di Jepang. Atau kalau di rata-ratakan, 31 Agustus ada 92 kasus bunuh diri, 1 September ada 131 anak bunuh diri, dan 2 September ada 94 kasus.
Angka tertinggi juga didapati di bulan April, ketika semester pertama tahun ajaran sekolah Jepang dimulai.
Tingginya angka statistik itu membuat Maho Kawai, seorang pustakawan di Kamakura bercuit di twitternya, "Semester dua sudah di hadapan kita. Kalau kalian berpikir untuk bunuh diri, kenapa kalian tidak datang kepada kami? Kami punya banyak koleksi novel dan komik."
"Tidak ada yang bilang kalau kalian bersembunyi di sini. Ingatlah kami sebagai tempat kalian melarikan diri apabila kalian berpikir untuk bunuh diri di bulan September," tweet Maho.
Sedikit kontroversi mencari kedamaian di perpustakaan, yang bagian dari komite pendidikan, mendorong siswa untuk membolos. Bahkan direktur perpustakaan Takasih Kikuchi berencana menghapus tweet itu. Namun, ia urung lakukan, karena dalam 24 jam, tweet itu dianggap menyentuh hati dan telah di re-tweet sebanyak 60.000 kali.
1 of 3
Sekolah Bukan Pilihan untuk Mati
Hari yang Paling Ditakuti oleh Para Siswa di Jepang (Reuters)
Tingginya angka kematian siswa tiap 1 September telah diketahui oleh para komunitas guru di Jepang, sehingga membuat mereka membuat surat kabar Futoko Shimbun, untuk para penolak sekolah, serta menyerukan bunuh diri bukanlah pilihan.
"Ini adalah neraka hidup untuk anak-anak yang tahu bahwa mereka akan diganggu di sekolah, namun mereka tidak punya pilihan lain selain pergi," katanya.
"Kami memulai organisasi ini 17 tahun lalu, karena di tahun 1997, ada tiga insiden yang mengejutkan," kata Shikoh Ishi salah satu guru sekaligus relawan untuk mengedit koran itu, kepada BBC 1 September 2015.
"Saat itu ada tiga siswa membakar sekolah mereka, dengan alasan kalau sekolah terbakar, mereka tidak usah kembali ke sekolah," kata Shikoh.
"Saat itulah kami sadari betapa putus asanya siswa kami. Kami ingin sampaikan pesan bahwa kematian bukanlah pilihan," terang Shikoh.
Hari yang Paling Ditakuti oleh Para Siswa di Jepang (Reuters)
Shikoh sendiri pernah membuat surat bunuh diri saat berusia sekolah. "Saat itu, aku pikir tidak ada pilihan lain selain mati daripada sekolah," kenangnya.
"Aku benar-benar merasa tidak tertolong, karena aku benci semua aturan sekolah, dan aturan murid lainnya. Contoh, murid di Jepang harus memperhatikan 'struktur' murid-murid jagoan untuk menghindari bully. Lalu, meskipun tidak memilih ikutan mem-bully murid lain, kamu yang akan jadi target berikutnya," kenang Shikoh.
Menurut data pemerintah Jepang, 90% murid di Jepang pernah melakukan bullying dan pernah jadi korban.
"Isu besar lainnya adalah, siswa jepang berlomba berkompetisi satu sama lainnya," tambah Shikoh.
Pengalaman keinginan bunuh dirinya dimulai saat ia gagal masuk sekolah SMA elite. Untung saja, orang tuanya menemukan surat bunuh dirinya. Mereka memperbolehkannya untuk tinggal di rumah.
"Aku ingin anak-anak Jepang tahu, kalian bisa kabur dari sekolah," katanya, "Dan semua akan lebih baik."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar